Sabtu, 12 Maret 2011

Tujuh Syarat Membuat Jamban Sehat


Tujuh Syarat Membuat Jamban Sehat

Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada tujuh kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:
  1. Tidak mencemari air
    1. Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.
    2. Jarang lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter
    3. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.
    4. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang, danau, sungai, dan laut
  2. Tidak mencemari tanah permukaan
    1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan.
    2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.
  1. Bebas dari serangga
    1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah
    2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang nyamuk.
    3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya
    4. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
    5. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup
  1. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan
    1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai digunakan
    2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat oleh air
    3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk membuang bau dari dalam lubang kotoran
    4. Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus dilakukan secara periodic
  1. Aman digunakan oleh pemakainya
    1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai yang terdapat di daerah setempat
  1. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya
    1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran
    2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena dapat menyumbat saluran
    3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan cepat penuh
    4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100
  1. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
    1. Jamban harus berdinding dan berpintu
    2. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari kehujanan dan kepanasan.

Lingkungan Hidup Sehat


Lingkungan Hidup Sehat
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua umur.
 
Padahal menurut studi menunjukkan bahwa dengan penyediaan air bersih dapat mencegah penyakit diare sebesar 35% dan penggunaan jamban sehat dapat mencegah penyakit diare sebesar 28%.
Demikian penegasan Menkes Dr. Achmad Sujudi ketika meresmikan Proyek Air Bersih dan Sanitasi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah Tahap II ( Second Water and Sanitation for Low Income Communities = WSLIC-2 ) Kabupaten Kediri yang dipusatkan di Desa Siman Kecamatan Kepung tanggal 14 September 2004.

Lebih lanjut ditegaskan, pencegahan penyakit diare dan penyakit lain yang ditularkan melalui air hanya dapat dilakukan dengan penyediaan air bersih, penggunaan jamban sehat pembuangan limbah cair dan padat rumah tangga serta peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum menjamah makanan serta menyimpan makanan dalam keadaan tertutup.

Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah tetap konsisten dalam kebijakannya untuk memberdayakan masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah dalam bidang penyediaan air bersih dan sanitasi dasar. Proyek WSLIC-2 bertujuan meningkatkan derajat kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah di pedesaan merupakan komponen dari Program Lingkungan Sehat.

Program Lingkungan Sehat juga terkait dengan komitmen global dalam mewujudkan Millenium Development Goals (MDG) bidang lingkungan sehat. MDG yang ditandatangani para Kepala Negara anggota PBB pada Johannesburg Summit September 2002 mentargetkan pada tahun 2015 akan mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar. Dengan demikian proyek WSLIC-2 bukan saja merupakan perwujudan komitmen global tetapi sekaligus berkontribusi dalam mencapai Indonesia Sehat 2010.

Menurut Menkes, berdasarkan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat menempatkan air sebagai benda sosial sekaligus sebagai benda ekonomi, sehingga untuk memperolehnya diperlukan pengorbanan/biaya dari penggunanya.
Berkaitan dengan kebijakan tersebut, maka pada proyek WSLIC-2 diperlukan kontribusi uang tunai dan material lokal dari masyarakat penerima manfaat minimal 20%. Selain itu masyarakat juga diberdayakan sehingga menjadi pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian, pemeliharaan dan pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi serta monitoring dan evaluasi oleh masyarakat penerima proyek.

Agar proyek mencapai tujuannya, maka kegiatan yang tidak kalah pentingnya adalah kegiatan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat dan sekolah serta upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit berbasis lingkungan. Dengan demikian keterlibatan aktif Puskesmas dengan menggunakan pendekatan Klinik Sanitasi adalah melalui pendekatan yang menerapkan upaya terpadu promotif, preventif dan kuratif yang difokuskan pada kelompok masyarakat yang rentan (population at-risk) terhadap penyakit berbasis lingkungan.

Sementara itu DR. Hening Darpito, Dipl.SE, Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi Ditjen PPM dan PL Depkes menambahkan program WSLIC-2 sasarannya adalah masyarakat berpenghasilan rendah di pedesaan yang memenuhi tiga indikator yaitu cakupan pelayanan air bersih dan sanitasi rendah, index kemiskinan serta angka kesakitan diare yang tinggi. Proyek ini tersebar di 7 Provinsi dan 34 kabupaten dan 2000 desa dengan jangka waktu 5 tahun dari 2002 - 2007. Lokasi proyek adalah Jawa Timur pada 14 kabupaten meliputi 500 desa, Nusa Tenggara Barat pada 6 kabupaten meliputi 300 desa, Jawa Barat pada 3 kabupaten meliputi 300 desa, Sumatera Selatan pada 4 kabupaten meliputi 260 desa, Sumatera Barat pada 4 kabupaten meliputi 300 desa, Bangka Belitung pada 1 kabupaten meliputi 40 desa dan Sulawesi Selatan pada 2 kabupaten meliputi 300 desa.

Biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program ini sebesar US$ 106,7 juta yang bersumber dari Pemerintah RI ( Pusat dan Daerah) sebesar US$ 12,2, Hibah (Grant) dari Pemerintah Australia sebesar US$ 6,5 juta, pinjaman Bank Dunia US$ 77,4 juta dan Kontribusi Masyarakat US$ 10,6 juta (berupa uang cash US$ 2,12 juta dan in-kind atau natura US$ 8,48 juta).

Seluruh pinjaman dari Bank Dunia tersebut merupakan International Development Assistance (IDA) yang tidak berbunga dengan jangka waktu pengembalian 35 tahun dengan masa tenggang pembayaran cicilan (grace period) 10 tahun.

Dalam dua tahun pelaksanaan program WSLIC-2 (Juni 2002 s/d Juni 2004) dari target 2000 desa sasaran, 998 desa sedang dalam proses perencanaan masyarakat dan 429 desa selesai, meliputi sistem air bersih di 424 desa dengan jumlah pemanfaat sebanyak 850.357 orang, pelaksanaan program kesehatan sekolah di 1.486 SD berupa pembangunan 3.824 tempat cuci tangan, 817 jamban sekolah dan pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah, membangun 12.370 jamban keluarga, pemeriksaan kualitas air pada 4.532 sarana air bersih, pemeriksaan 2.079 salurah air limbah rumah tangga, 5.524 jamban keluarga dan 543 jamban sekolah, pelatihan bidang teknik, kesehatan dan administrasi keuangan terhadap 14.272 orang yang berasal dari masyarakat lokasi kegiatan.

Bagi Sumini (44 tahun) dan Musimi (43 tahun) penduduk Desa Siman Kec. Kepung, program WSLIC-2 ini sangat bermanfaat. Pasalnya, sebelum ada program untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari harus mengambil dari desa Besowo yang berjarak kurang lebih 2 km atau membeli setiap 3 jerigen senilai Rp 2.500,-. Dengan demikian setiap bulan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 75.000,-. Namun setelah adanya program WSLIC-2 yang baru beroperasi 2 bulan ini, warga yang membutuhkan air bersih hanya membayar Rp 800,-/meter kubik air. Dengan jumlah anggota keluarga 6 orang, setiap bulan Ny. Musimi hanya mengeluarkan biaya Rp 14.000,-/ per bulan.

Konsep Teori Levine


Konsep Teori Levine
Keperawatan sebagai suatu profesi yang sampai saat ini masih dianggap profesi yang kurang eksis, kurang profesional, bahkan kurang menjanjikan dalam hal finansial. Oleh karena itu keperawatan harus berusaha keras untuk menunjukkan pada dunia luar, di luar dunia keperawatan bahwa keperawatan juga bisa sejajar dengan profesi – profesi lain. Tugas ini akan terasa berat bila perawat-perawat Indonesia tidak menyadari bahwa eksistensi keperawatan hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras perawat itu sendiri untuk menunjukkan profesionalismenya dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama pelayanan keperawatan baik kepada individu, keluarga maupun masyarakat.

dari berbagai tingkatan usia.Aplikasi proses keperawatan menurut konsep teori Levine di Rumah Sakit telah banyak diterapkan namun sedikit sekali perawat yang mengetahui dan memahami bahwa tindakan keperawatan tersebut telah sesuai. Bahkan perawat melaksanakan asuhan keperawatan tanpa menyadari sebagian tindakan yang telah dilakukan pada klien adalah penerapan konsep teori Levine.

Oleh karena itu, kelompok memandang perlu untuk mengetahui dan mengkaji lebih jauh tentang penerapan model keperawatan yang sesuai dengan teori Levine diilapangan atau rumah sakit, sehingga dapat diketahui apakah teori Levine dapat diaplikasikan dengan baik dalam pelayanan keperawatan/ asuhan keperawatan .

MASALAH ETIS ANTARA PERAWAT, KLIEN DAN DOKTER


MASALAH ETIS ANTARA
PERAWAT, KLIEN DAN DOKTER

Dalam melaksanakan praktik keperawatan, tindakan mandiri perawatan professional melalui kerja sama yang bersifat kolaboratif ,baik dengan klien mau pun tenaga kesehatan lainnya dalam memberrikan asuhan keperawatan holistic sesuai wewenanang dan tanggung jawabnya (CSH,1992). Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnyaperawat tidak dapat bekerja tanpa kolaborasi Dengan profesi lain. Profesi lain itu antara lain adalah dokter, ahli gizi,tenaga laboratorium, tenaga roentgen dan sebagainya.

Dalam melaksanakan tugasnya setiap profesi dituntut untuk mempertahankan kode etik profesi masing – masing. Kelancaran tugas masing – masing tergantung dari ketaatannya dalam menjalankan serta mempertahankan kode etik profesinya.Bila setiap prefesi telah dapat saling menghargai ,kerja sama akan terjalin dengan baik, walaupun pada pelaksanaannya sering juga terjadi konflik etis antara perawat,klien,dan dokter.

Contoh 1:
seorang wanita tua berumur 87 tahun dirumah perawatan (nursing home) mengatakan pada perawatnya bahwa ia merasa tidak mampu membayar perawatan medisnya  dan ingim mengganti dokternya. Ia bertanya pada perawat apa yang dapat ia kerjakan. Perawat menyarankan bahwa klien membicarakan hal tersebut dengan dokternya.

Dokter tersebut datang sehingga perawat itu juga ada diruangan klien tersebut, dan klien mengatakan keinginannya untuk mengganti dokternya. Dokter berkata pada klien, “anda hanya sia-sia, anda tidak dapat mengganti dokter saat ini”. Kemudian dokter tersebut pergi. Dalam hal ini perawat tahu bahwa klien mempunyai hak untuk mengganti dokternya


Contoh 2 :
Perawat Yanti, lulus fakultas ilmu perawatan yang bertugas diruang ICU RS tipe B. dalam menjalankan tugasnya, Yanti sangat disiplin dan teliti serta sabar dalam melaksanakan asuhan keperawatan klien. Oleh karena itu Yanti sangat dipercaya oleh dokter jaga bernama dr. Budi. Bila Yanti bertugas dalam waktu bersamaan dengan dokter BudiYanti sering mendapat pesan bahwa dokter Budi tidak dapat hadir dan berpesan apabila terjadi perubahan pada kondisi kliennya, Ynti diwajibkan melapor melalui telpon atau ponselnya, dalam hal ini

Yanti dan Dokter Budi mempunyai tanggung jawab yang berbeda. Dan tidak melimpahkan tugas beliau begitu saja kepadanya tanpa alas an yang dapat dipertanggung jawabkan atau apakah beliau melaporkan kepada pihak RS bahwa dokter Budi sering tidak hadir melaksanakan tugasnya sebagai dokter jaga. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan matang agar hubungan kerja perawat dan dokter dapat terjalin dengan baik serta berperan sesuai profesi masing- masing.

Fraktur


Fraktur
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai tipe dan luasnya. Fraktur terjadi ketika tulang diberikan stres lebih besar dari kemampuannya untuk menahan (Sapto Harnowo, 2002). Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Jumlah korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia cenderung turun, yaitu 47.401 orang pada tahun 1989 menjadi 32.815 orang pada tahun 1995. Rasio jumlah korban cedera sebesar 16,80 per 10.000 penduduk dan rasio korban meninggal sebesar 5,63 per 100.000 penduduk. Angka kematian tertinggi berada di wilayah Kalimantan Timur yaitu 11,07 per 100.000 penduduk dan terendah di Jawa Tengah, yaitu sebesar 2,67 per 100.000 penduduk (Lukman, 2009).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat bahwa pada tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diistegritas tulang, penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2007 didapatkan sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda, dari hasil survey tim depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami kematian, 45 mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis karena cemas dan bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik. Respon cemas (ansietas) adalah reaksi normal terhadap ancaman stress dan bahaya. Ansietas merpakan reaksi emosional terhadap persepsi adanya bahaya, baik yang nyata maupun yang dibayangkan. respon cemas merupakan reaksi umum yang terjadi terhadap perubahan status kesehatan yang dirasakan sebagai ancaman: ancaman umum terhadap kehidupan, kesehatan dan keutuhan tubuh, pemajanan dan rasa malu, ketidaknyaman akibat nyeri dan keterbatassan gerak.
Di Sumatera Selatan berdasarkan data dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2007 didapatkan sekitar 2700 orang mengalami insiden fraktur, 56% penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya kejadian fraktur (Dinkes Pemrov Sumsel, 2008). Sementara itu pada tahun yang sama di Rumah Sakit Umum Kota Prabumulih tercatat terdapat 676 kasus fraktur dengan distribusi 86,2% fraktur jenis terbuka dan 13,8% fraktur jenis tertutup. Berdasarkan catatan rekam medik RSUD Kota Prabumulih diketahui 68,14% jenis fraktur yang terjadi adalah fraktur ektremitas bawah (Medikal Record RSUD Kota Prabumulih, 2008).